MENENTUKAN kapan Bahasa Jawa mulai digunakan bukanlah perkara mudah, bagaikan mencari asal mula sebuah sungai yang mengalir dari hulu yang tak terjamah. Bukti-bukti tertulis tertua yang menunjukkan keberadaan Bahasa Jawa Kuno, cikal bakal Bahasa Jawa modern, ditemukan dalam prasasti-prasasti kuno.
Lebih dari sekadar alat komunikasi, Bahasa Jawa menjelma menjadi identitas budaya yang kental. Di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, dan berbagai wilayah lainnya, bahasa ini menjadi nafas kehidupan masyarakat.
Bahkan, gema Bahasa Jawa melampaui batas geografis, menjangkau Lampung, Aceh, Riau, Kepri, Bengkulu, Jambi, Bali, NTB, Kalimantan Timur, Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Seiring perjalanan waktu dan percampuran budaya, Bahasa Jawa melahirkan dialek-dialek unik, bagaikan anak sungai yang memisahkan diri dari arus sungai induknya.
Dari satu bahasa, meskipun wilayahnya berdekatan, tidak jarang memiliki ciri khas dialek tersendiri. Sebagian orang menyebut dialek merupakan logat bahasa, yang melingkupi suatu kelompok penutur dari bahasa induk.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan dialek sebagai variasi bahasa yang berbeda menurut penuturnya. Misalnya, bahasa dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu tertentu.
Peta Bahasa di Indonesia membagi bahasa Jawa yang dituturkan masyarakat di Jawa Timur menjadi empat dialek. Di antaranya dialek Jawa Timur, dialek Osing, dialek Tengger, dan dialek Solo-Yogya.
Dialek Jawa Timur, menyebar di sekitar Surabaya, ke arah timur sampai ke Jember, ke arah utara sampai Kabupaten Malang, dan ke arah Barat sampai Bojonegoro. Dari segi struktural bahasa, dialek ini punya ciri khas yang lugas. Sehingga terkesan paling kasar dalam urutan tingkat penggunaan bahasa Jawa.
Namun, terdapat bahasa dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi, yakni bahasa kromo. Penutur mengucapkan bahasa ini kepada orang yang dari segi usia maupun status sosialnya lebih tinggi.
Kedua, dialek Osing. Masyarakat di Kabupaten Banyuwangi menuturkan dialek Osing, khususnya di Kecamatan Banyuwangi, Srono, dan Kalipuro. Dialek Osing ini memiliki kesamaan kosakata dalam bahasa Jawa kuno, terutama di wilayah Girih, Glagah, dan Licin.
Hingga saat ini dialek ini masih terjaga keasliannya. Namun, di beberapa daerah, dialek ini sudah terpengaruh banyak bahasa, seperti bahasa Madura dan bahasa Jawa baku.
Yang ketiga adalah dialek Tengger. Masyarakat di lereng Gunung Bromo masih menuturkan dialek Tengger hingga saat ini. Penutur dialek ini banyak berasal dari daerah Tengger, khususnya di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Keempat, adalah dialek Solo-Yogya. Sebagian besar masyarakat di Madiun dan sekitarnya sampai ke arah barat di Jawa Tengah menuturkan dialek Solo-Yogya. Kebanyakan orang menganggap dialek Solo-Yogya sebagai bahasa Jawa baku.
Banyak juga yang beranggapan dialek Solo-Yogyakarta merupakan satu dialek yang tak terpisahkan. Akan tetapi bagi masyarakat Solo dan Yogyakarta keduanya jelas berbeda.
Hasil penghitungan dialektometri menunjukkan perbedaan antar dialek ini cukup signifikan, berkisar antara 52 persen hingga 64 persen. Perbedaan ini tak hanya dalam kosakata, tetapi juga struktur kalimat, intonasi, dan penggunaan kata-kata tertentu.
Respon (1)
Komentar ditutup.