Urban  

Banjir di Pantura Jawa Tengah: Kemunculan Kembali Selat Muria?

BRIN menyebut perlu kajian komprehensif untuk menjawab kemungkinan munculnya kembali Selat Muria yang sudah lama tenggelam.

Selat muria
Gambar peta yang memperkirakan keberadaan Selat Muria jaman dulu.

BANJIR yang melanda wilayah pantai utara Demak, Kudus, dan Jepara, Jawa Tengah, seolah menguak kembali kisah Selat Muria. Selat yang sudah lama tenggelam. Sekitar empat abad lalu, Selat Muria memisahkan Pulau Muria dari daratan Pulau Jawa. Kini, bencana banjir yang meluas seolah mengungkap kembali jejak geologis yang tersembunyi.

Kehilangan Selat Muria terjadi akibat sedimentasi yang intens pada abad ke-17. Ini dijelaskan dalam hasil studi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dipublikasikan pada 2010. Studi tersebut menggunakan analisis citra satelit serta data geologi. Tepatnya dari permukaan dan bawah permukaan di Kecamatan Sayung, Desa Kalikondang, dan Desa Bintoro di Demak.

Bukti lain keberadaan Selat Muria muncul dalam peta citra satelit terbaru yang merekam area terendam banjir di pantai utara Jawa Tengah pada Maret 2024. Peta yang dihasilkan Google Earth Engine ini memperlihatkan area banjir di selatan semenanjung Muria. Peta ini juga viral di media sosial karena menunjukkan kesamaan dengan area Selat Muria yang hilang.

Baca Juga:  Mengejutkan, Ada 49 Taksa Baru di Indonesia, Sulawesi Juaranya!

Kepala Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Adrin Tohari, menekankan pentingnya penelitian tentang kemunculan kembali Selat Muria. Menurut Adrin, penelitian ini sangat relevan mengingat ancaman bencana alam seperti banjir besar yang melanda wilayah pesisir Demak.

Citra satelit kawasan bekas Selat Muria setelah dilanda banjir di wilayah Demak, Kudus dan Jepara.
Citra satelit kawasan bekas Selat Muria setelah dilanda banjir di wilayah Demak, Kudus dan Jepara.

Adrin menekankan perlunya pemahaman mendalam tentang karakteristik sumber bahaya geologi untuk melakukan mitigasi bencana yang lebih efektif. ”Isu kemunculan Selat Muria harus dilihat dalam konteks bencana banjir besar yang terjadi di wilayah pesisir Demak,” katanya.

Baca Juga:  Lingkungan Makin Terancam! Kepulauan Seribu Jadi Penampungan Sampah

Ia menyebut, beberapa faktor seperti cuaca ekstrem dan penurunan tanah berkontribusi pada situasi ini. Oleh karena itu, penelitian mengenai cuaca ekstrem dan penurunan tanah di wilayah pesisir sangat penting.

Menurutnya, riset mengenai cuaca ekstrem dan penurunan tanah di pesisir Demak merupakan langkah kunci untuk memahami dan mengurangi risiko bencana.

Sebelumnya, LIPI melakukan studi pada periode 2017-2019. Hasilnya menunjukkan laju penurunan tanah di Kota Demak. Yakni mencapai 2,4 hingga 2,5 cm per tahun. Kondisi itu terjadi akibat proses pemadatan alami dan penurunan muka air tanah.

Sementara itu, Adrin menjelaskan bahwa Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN fokus pada empat jenis bencana geologi utama. Yaitu, gempa bumi, tsunami, gunung api, dan gerakan tanah. Lima area utama penelitian meliputi bahaya gempa bumi, tsunami, gunung api, gerakan tanah, serta kajian risiko dan resiliensi bencana geologi.

Baca Juga:  Gedung Proefstation Simpan Jejak Manis Kejayaan Gula di Pasuruan

Penelitian itu bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mendalam mengenai karakteristik sumber bahaya dan siklus kejadian bencana. Selain itu, pengembangan teknologi pemantauan dan peringatan bahaya geologi juga menjadi fokus. Apalagi telah diterapkan di beberapa daerah berisiko seperti zona Sesar Lembang dan Selat Sunda.

Adrin menekankan bahwa penelitian dan inovasi dalam kebencanaan geologi sangat penting untuk mitigasi risiko bencana yang lebih efektif. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih siap menghadapi ancaman bencana alam. Termasuk potensi risiko di sekitar Selat Muria.

”Bagaimana pun, mitigasi bencana perlu pengetahuan mendalam mengenai karakteristik bahaya geologi,” ungkapnya.