Dipantara.com – Alunan gamelan mengalun merdu ketika pertunjukan seni Bantengan di mulai. Di berbagai daerah Jawa Timur, pertunjukan tradisional ini kembali semarak, membawakan perpaduan sendratari, musik, dan unsur magis yang tak hanya menghibur, tetapi juga sarat makna dan nilai budaya.
Sejak 2019, Bantengan di tetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda asal Jawa Timur. Bantengan belakangan semakin populer. Penontonnya juga bukan hanya orang dewasa. Bahkan, anak-anak juga gandrung dengan pertunjukan seni yang satu ini.
Lebih dari sekadar tarian meniru gerak banteng, Bantengan merupakan perwujudan kekuatan, keberanian, dan kesuburan. Banteng, sang raja hutan, menjadi simbol kedekatan manusia dengan alam dan rasa syukur atas panen yang melimpah.
Di balik gerakan energik para penari, terpancar doa dan harapan masyarakat agraris untuk kehidupan yang lebih baik. Bantengan bukan tradisi yang baru muncul. Akarnya tertanam kokoh dalam sejarah Jawa Timur, di yakini telah ada sejak era Kerajaan Singhasari, seperti yang tergambar pada relief Candi Jago di Tumpang, Malang.
Seiring waktu, Bantengan terus berkembang, mewarnai budaya masyarakat Jawa Timur, khususnya di daerah pegunungan. Pada masa Penjajahan Belanda, muncul sosok Mbah Siran di Desa Claket, Kabupaten Mojokerto, yang memodifikasi topeng Bantengan dari tanduk banteng asli.
Sejak saat itu, Bantengan mulai menyebar ke berbagai daerah, seperti Mojokerto, Malang, Batu, Lumajang, Kediri, dan Pasuruan.
Lebih dari sekadar hiburan, Bantengan sarat makna dan nilai budaya. Pertunjukan ini menjadi wadah untuk mempererat tali persaudaraan, memperkuat rasa identitas komunitas, dan menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi muda.
Pertunjukan Penuh Energi dan Atraksi Menakjubkan
Kemeriahan Bantengan di awali dengan lantunan musik tradisional yang energik, membangkitkan semangat para penonton. Dua penari, yang berperan sebagai “banteng”, mengenakan kostum boneka raksasa berbentuk banteng lengkap dengan topeng dan tanduk.
Di iringi musik, mereka menari dengan penuh semangat, menirukan gerakan banteng yang kuat dan lincah. Atraksi utama Bantengan adalah adu banteng. Dua “banteng” saling beradu dalam pertarungan simbolis, di iringi teriakan dan sorak sorai penonton.
Pertarungan ini bukan pertarungan fisik yang brutal, melainkan pertarungan seni dan kelincahan para penari. Di balik pertarungan tersebut, terkandung makna persaingan yang sehat dan kegigihan dalam menghadapi tantangan.
Di era modern, Bantengan tak luput dari berbagai tantangan. Minat generasi muda terhadap seni tradisional mulai menurun, dan regenerasi penari dan dalang juga menjadi kendala. Namun, semangat pelestarian terus berkobar.
Berbagai pihak, seperti komunitas seni, pemerintah daerah, dan budayawan, bekerja sama untuk menjaga kelestarian tradisi ini. Festival dan pertunjukan Bantengan di gelar secara berkala untuk menarik minat masyarakat, khususnya generasi muda.
Upaya digitalisasi juga di lakukan untuk memperluas jangkauan dan memperkenalkan Bantengan kepada publik yang lebih luas. Berbagai konten edukasi dan kreatif tentang Bantengan di buat dan di sebarluaskan melalui media sosial dan platform digital lainnya.