Bubur Asyura: Simbol Persatuan, Rasa Syukur, dan Nilai Luhur Islam

bubur asyura

TANGGAL 10 Muharram, momen istimewa dalam kalender Islam yang tak hanya di warnai dengan ibadah puasa sunnah, tetapi juga tradisi penuh makna. Salah satu tradisi yang tak lekang oleh waktu adalah membuat dan menyantap bubur Asyura. Di balik kelezatannya, bubur Asyura menyimpan cerita panjang dan nilai-nilai luhur yang berlangsung turun-temurun.

Bubur Asyura, hidangan khas yang terbuat dari nasi dan campuran kacang-kacangan, hadir di berbagai daerah di Indonesia dengan nama dan tradisi yang unik. Di Riau, tradisi sedekah bubur Asyura telah berlangsung sejak masa Kesultanan Siak ke-11.

Bubur istimewa ini tak hanya menggugah selera, tetapi juga menjadi hidangan berbuka puasa bagi para sultan yang melaksanakan ibadah puasa sunnah 10 Muharram. Tradisi ini menjadi bukti sejarah kejayaan Kesultanan Siak dan bentuk kepedulian para pemimpin terhadap rakyatnya.

Baca Juga:  Mengenang Tugu Jam di Kota Pasuruan

Tradisi serupa juga ada di Aceh Besar, Sumatera. Masyarakat Indrapuri menjadikan bubur Asyura sebagai simbol rasa syukur kepada Allah SWT dan sarana mempererat silaturahmi. Memasak bubur Asyura bersama-sama menjadi momen kebersamaan tak terlupakan.

Di sini, tradisi bubur Asyura tak hanya melibatkan kaum perempuan, tetapi juga para pria yang bahu membahu dalam menyiapkan bahan-bahan dan memasak bubur. Hal ini menunjukkan semangat gotong royong dan rasa saling tolong menolong yang kuat dalam masyarakat Indrapuri.

Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pun tak luput dari tradisi membuat bubur Asyura. Di kota ini, bubur istimewa ini menjadi hidangan buka puasa bagi mereka yang melaksanakan puasa Asyura. Tradisi bubur Asyura di Banjarmasin menjadi simbol kesederhanaan dan kepedulian.

Baca Juga:  Pertautan Cinta Rara Anteng dan Jaka Seger

Bubur Asyura menjadi hidangan gratis bagi masyarakat, tanpa memandang status sosial maupun agama. Hal ini menunjukkan semangat kebersamaan dan toleransi yang tinggi dalam masyarakat Banjarmasin.

Sementara di Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur, memiliki tradisi bubur suro. Masyarakat biasanya memasak bubur ini sejak 1 Muharram sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah dan melimpahnya rezeki dari Allah SWT.

Di Jawa Tengah, tradisi bubur suro memiliki keunikan tersendiri, yaitu dengan menambahkan berbagai macam rempah-rempah dan buah-buahan kering ke dalam bubur. Hal ini menjadikan bubur suro Jawa Tengah kaya rasa dan aroma yang khas.

Di Jawa Timur, berbagai ritual dan doa juga melengkapi tradisi berbagi bubur suro, seperti membaca tahlil dan doa tolak bala. Tradisi ini menunjukkan nilai religiusitas dan ketaatan masyarakat Jawa Timur dalam menjalankan syariat Islam.

Baca Juga:  Petik Tebu Manten: Ritual di Balik Manisnya Gula

Lebih dari Sekedar Kuliner

Bubur Asyura bukan sekadar hidangan lezat, tetapi juga sarat makna dan nilai-nilai luhur. Tradisi ini mencerminkan rasa syukur atas nikmat Allah SWT, mempererat tali persaudaraan, dan menjadi wujud kepedulian terhadap sesama.

Memasak dan menyantap bubur Asyura bersama-sama menjadi momen kebersamaan yang memperkuat rasa persatuan dan solidaritas antar warga. Tradisi ini juga menjadi pengingat akan sejarah dan nilai-nilai Islam yang harus terus membumi.

Di era modern ini, tradisi bubur Asyura masih lestari di tengah masyarakat. Tradisi ini menjadi pengingat bagi generasi muda untuk terus menjaga nilai-nilai luhur Islam dan mempererat rasa persaudaraan.