KISAH ini bermula pada masa pemerintahan Raja Jayanagara (1294-1328), ketika kekacauan melanda Majapahit akibat pemberontakan Rakryan Kuti. Sang raja terpaksa melarikan diri bersama pasukan Bhayangkaranya, dengan Gajah Mada sebagai komandan yang setia.
Bersembunyi di Desa Bedander, Gajah Mada menyusun strategi untuk merebut kembali tahta. Beberapa hari kemudian, Gajah Mada menyusup ke Majapahit dan bertemu para pejabat tinggi kerajaan. Awalnya, mereka berduka cita karena mengira Raja Jayanagara telah gugur.
Namun, Gajah Mada membawa kabar gembira: sang raja masih hidup dan siap untuk kembali memimpin. Di bawah kepemimpinan Gajah Mada yang gemilang, rakyat Majapahit bersatu padu untuk menumbangkan Rakryan Kuti.
Raja Jayanagara berhasil kembali ke tahtanya, dan karir Gajah Mada pun meroket. Pada tahun 1334, ia menduduki jabatan Mahapatih Majapahit, mendampingi Rani Tribhuwana Tunggadewi.
Di momen bersejarah inilah Gajah Mada mengucapkan sumpah palapanya yang terkenal: untuk mengembalikan seluruh wilayah yang pernah disatukan oleh Raja Kertanegara dari Singhasari (1268-1292) ke pangkuan Majapahit. Sumpah ini menjadi landasan bagi ambisi Gajah Mada untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu menyatukan nusantara di bawah panji Majapahit.
Tujuh belas tahun kemudian, Gajah Mada mendirikan sebuah candi megah untuk menghormati mendiang Raja Kertanegara: Candi Singosari yang megah di Kabupaten Malang. Candi ini bukan sekadar tempat pemujaan, tetapi juga menyimpan rahasia asal-usul Gajah Mada yang selama ini masih misteri.
Nama asli Candi Singosari sendiri belum pasti. Namanya yang sekarang berdasarkan pada wilayah Kecamatan Singosari, yang merupakan pengucapan modern dari Singhasari.
Pembangunan Candi Belum Tuntas
Para sejarawan bersilang pendapat tentang kapan tepatnya pembangunan candi ini, oleh siapa, dan untuk apa. Namun, dugaan terkuat menyatakan bahwa candi ini merupakan karya Gajah Mada. Pada tahun 1904, terdapat prasasti Gajah Mada.
Prasasti ini menyebutkan bahwa Tribhuwana Wijayatunggadewi (berkuasa 1328-1351), selaku ketua dewan saptaprabhu, memerintahkan Gajah Mada untuk membangun caitya, atau bangunan pemujaan, bagi mendiang Raja Kertanegara dari Singhasari.
Prasasti ini menjadi rantai penghubung antara Singhasari, atau kerajaan Tumapel, dengan kerajaan Majapahit sebagai penerusnya.
Bila meneliti struktur candi lebih lanjut, pembangunan Candi Singosari sebenarnya tampak belum selesai. Buktinya, pahatan Kirtimukha di atas candi telah rampung dan halus, namun Kirtimukha di bawah masih kasar.
Ketidakselesaian ini menambah misteri pada candi ini dan membuka ruang interpretasi bagi para arkeolog dan sejarawan. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa caitya karya Gajah Mada adalah Candi Singosari, mengingat prasasti itu ada tidak jauh dari candi.
Namun, prasasti ini memunculkan kebingungan baru. Jika kita cermati, semua arca di Candi Singosari menunjukkan gaya Singhasari yang kental. Contohnya arca Agastya dengan hiasan teratai yang tumbuh dari bonggolnya. Ciri khas ini juga terdapat pada arca Amoghapasa di halaman Candi Jago di Malang, era Singhasari.
Berbeda dengan Gaya Majapahit. Relief teratainya akan muncul bersama jambangan atau wadah. Menurut pemerhati sejarah, Dr. Heri Kurniawan, Candi Singosari di masa lampau adalah kompleks dengan banyak bangunan candi. Besar kemungkinan caitya yang dibangun Gajah Mada bukanlah yang tersisa saat ini, dan mungkin sudah hilang.
Jadi Sasaran Penjarahan Belanda
Faktanya, candi peninggalan bersejarah itu tak luput dari kisah pahit penjarahan artefak. Penemuannya oleh Nicolaus Engelhard, gubernur di pantai timur laut Jawa pada tahun 1761, menjadi awal dari perjalanan panjang cagar budaya ini.
Sejak tahun 1819, kekejaman kolonialisme terlihat dengan pengangkutan arca-arca Singhasari ke Belanda. Pemerintah Hindia Belanda tak henti-hentinya menjarah artefak Jawa.
Bahkan, mereka membungkuskan artefak-artefak ini sebagai hadiah bagi Raja Culalongkorn (1853 –1910) dari Thailand, yang pernah mengunjungi Jawa sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1871, 1896, dan 1901.
Kini, salah satu artefak Singhasari terpajang di Museum Nasional Bangkok, menjadi saksi bisu sejarah kelam penjarahan budaya. Mirisnya, setelah Indonesia merdeka, penjarahan artefak masih terus berlanjut. Pada tahun 1994, 11 orang dari Blitar dan Bululawang membawa arca hasil curian ke daerah Bali, di mana terdapat penampungan arca-arca tersebut.
Kisah Candi Singosari dan penjarahan artefaknya menjadi pengingat bahwa kekayaan budaya bangsa tidak boleh terabaikan. Kita harus bersatu untuk melawan penjarahan dan memastikan bahwa warisan budaya bangsa ini tidak terenggut lagi di masa depan.
Respon (2)
Komentar ditutup.