Ciung Wanara, Intrik dan Pengorbanan di Kerajaan Galih Pakuan

DI MASA lampau, di tengah hutan belantara yang rimbun dan lembah-lembah yang subur, terdapat sebuah kerajaan megah bernama Kerajaan Galih Pakuan. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana dan kuat, Prabu Permana di Kusumah. Keberadaan kerajaan ini dikenal luas karena kedamaian dan kemakmurannya.

Pada suatu hari yang cerah, seorang menteri kerajaan yang bernama Aria Kebonan memasuki istana dengan penuh rasa hormat. Aria Kebonan datang untuk memberikan laporan mengenai wilayah yang dipimpinnya. Dengan tatapan penuh kekaguman, ia melihat kemewahan hidup Raja Prabu Permana. Dalam hatinya, Aria Kebonan merindukan posisi itu, berkhayal untuk menjadi seorang raja suatu hari nanti.

Baca Juga:  Candi Singosari: Jejak Karya Gajah Mada Bergaya Singhasari

Namun, Raja Prabu Permana di Kusumah, yang dikenal memiliki kemampuan sakti, ternyata bisa membaca pikiran orang-orang di sekelilingnya. Raja mengetahui keinginan Aria Kebonan dan memutuskan untuk memberikan kesempatan langka. Prabu Permana mengumumkan bahwa Aria Kebonan boleh menjadi raja untuk sementara waktu, karena ia sendiri akan pergi bertapa untuk mencari pencerahan.

Baca Juga:  Talas, Alternatif Pangan Warisan Nusantara yang Kaya Manfaat

Namun, Prabu Permana menetapkan dua syarat penting: pertama, Aria Kebonan harus memerintah dengan keadilan dan kebijaksanaan; kedua, ia tidak boleh memperlakukan permaisuri istana seolah-olah mereka adalah istrinya sendiri.

Aria Kebonan menerima syarat tersebut dengan penuh rasa syukur. Dengan kekuatan magis Raja Prabu Permana, wajah Aria Kebonan menjadi tampak lebih muda, dan ia diberikan nama baru, Prabu Barma Wijaya Kusumah. Dengan nama baru dan penampilan yang lebih muda, Prabu Barma Wijaya Kusumah diperkenalkan kepada rakyat sebagai raja baru yang akan memimpin mereka.

Baca Juga:  Pesona Kelopak Manggis Pusaka Penganti

Sayangnya, perubahan dalam diri Aria Kebonan membawa dampak negatif. Setelah mendapatkan kekuasaan, Prabu Barma Wijaya Kusumah menunjukkan sikap sombong dan egois. Ia mulai memperlakukan kedua permaisuri Raja Prabu Permana, Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum, seolah-olah mereka adalah istri-istrinya sendiri. Meskipun Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum berusaha keras untuk menghindari perlakuan yang tidak menyenangkan tersebut, situasi semakin memburuk.

Respon (1)

Komentar ditutup.