Suatu malam, Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum mengalami mimpi yang aneh. Mereka bermimpi mengalami kejatuhan dan menimang bulan, sebuah fenomena yang umumnya hanya dialami oleh wanita hamil. Mimpi ini membuat mereka khawatir, dan Prabu Barma Wijaya Kusumah merasa terancam. Untuk mengungkap arti mimpi tersebut, ia memanggil seorang petapa yang bernama Ajar Sukaresi.
Yang tidak diketahui oleh Prabu Barma Wijaya Kusumah adalah bahwa Ajar Sukaresi sebenarnya adalah Raja Prabu Permana di Kusumah yang sedang menyamar. Ajar Sukaresi memberi penjelasan bahwa kedua permaisuri sedang mengandung anak laki-laki. Prabu Barma Wijaya Kusumah merasa terancam oleh ramalan ini dan marah.
Dalam kemarahan, ia mencoba membunuh Ajar Sukaresi dengan keris, namun usaha tersebut gagal total. Keris yang digunakan malah bengkok dan tidak berfungsi. Ajar Sukaresi akhirnya berubah menjadi naga besar bernama Nagawiru. Sementara itu, kedua permaisuri benar-benar hamil sesuai dengan ramalan Ajar Sukaresi.
Dewi Pangrenyep kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama Hariang Banga. Namun, Dewi Naganingrum mengalami keterlambatan dalam melahirkan. Saat bayi dalam kandungannya mulai berbicara, ia menyatakan bahwa kekuasaan Prabu Barma Wijaya Kusumah akan berakhir karena kesalahannya dan pelanggaran janji.
Mendengar pernyataan bayi tersebut, Prabu Barma Wijaya Kusumah menjadi panik dan marah. Ia berencana menyingkirkan bayi Dewi Naganingrum dengan cara licik. Bersama dengan Dewi Pangrenyep, mereka merencanakan untuk menukar bayi Dewi Naganingrum dengan anak anjing setelah dilahirkan dan membuangnya ke Sungai Citanduy.
Rencana licik mereka pun terlaksana dengan lancar. Ratu Naganingrum sedih dan tertekan karena anaknya yang sebenarnya adalah korban dari kebrutalan Prabu Barma Wijaya Kusumah. Bahkan, dia dijatuhi hukuman mati karena melahirkan anak anjing dianggap sebagai kutukan. Uwa Batara Lengser, seorang petugas kerajaan, ditugaskan untuk mengeksekusi hukuman tersebut.
Namun, Uwa Batara Lengser merasa tidak tega dan hanya membawa Ratu Naganingrum ke hutan. Dia pulang dengan membawa pakaian berlumur darah sebagai tanda bahwa tugas eksekusi telah dilaksanakan.
Di hutan, Ratu Naganingrum hidup dalam kesulitan, namun nasib bayi yang dilahirkannya tidak begitu suram. Bayi tersebut ditemukan oleh sepasang suami istri tua yang tinggal di desa Geger Sunten, yang terletak di tepi Sungai Citanduy. Pasangan ini merawat bayi dengan penuh kasih sayang, dan seiring berjalannya waktu, bayi tersebut tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat dan bersemangat.
Pada suatu hari, pemuda tersebut bersama ayahnya pergi ke hutan. Di sana, mereka melihat seekor burung dan seekor monyet yang diberi nama Ciung dan Wanara. Nama Ciung Wanara kemudian dipilih sebagai nama panggilan pemuda tersebut. Di desa, Ciung Wanara dihormati dan dianggap istimewa. Ia awalnya tidak mengetahui sebabnya, namun ia kemudian menyadari bahwa ia adalah keturunan bangsawan Galuh.
Dengan rasa ingin tahu yang mendalam, Ciung Wanara memutuskan untuk mencari orang tua kandungnya. Ia memulai perjalanan ke Galuh dengan membawa telur yang diberikan oleh ayahnya. Ayahnya memberinya wejangan agar telur tersebut nantinya harus ditetaskan dengan bantuan unggas.
Dalam perjalanan menuju Galuh, Ciung Wanara bertemu dengan Nagawiru, yang dikenal sebagai naga. Ciung Wanara meminta bantuan Nagawiru untuk menetas telur yang dibawanya. Setelah telur menetas, Ciung Wanara membawa anak ayam itu bersamanya saat melanjutkan perjalanan ke Galuh.
Respon (1)
Komentar ditutup.