Dipantara.com – Hari Bhakti Adhyaksa yang di peringati setiap 22 Juli sebenarnya menandakan berdirinya Kejaksaan Republik Indonesia. Tapi istilah Adhyaksa sendiri sudah ada jauh sebelum kemerdekaan.
Adhyaksa sendiri merupakan istilah dalam Bahasa Sanskerta. Yang berarti perangkat pemerintah di bidang hukum yang bertugas menyampaikan tuduhan dalam proses peradilan terhadap orang yang di duga melanggar hukum.
Adhyaksa Era Majapahit
Sistem peradilan sudah di kenal dalam Kerajaan Majapahit. Begitu juga dengan istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa yang merupakan jabatan penting di Kerajaan.
Akar kata dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sendiri tertanam dalam bahasa Sansekerta yang mencerminkan pengaruh budaya Hindu-Jawa di Majapahit. Peneliti Belanda, W.F. Stutterheim, menelusuri jejak dhyaksa sebagai pejabat negara mulai ada di era Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M).
Dhyaksa bagaikan hakim yang memegang palu keadilan, bertugas menangani perkara di ruang sidang. Di atas mereka, adhyaksa berdiri sebagai pemimpin dan pengawas, memastikan roda peradilan berputar dengan adil dan merata.
H.H. Juynboll, peneliti lain, memperkuat kesimpulan ini dengan menyebut adhyaksa sebagai ”oppenrrechter”, hakim tertinggi yang menegakkan keadilan.
Bahkan, Krom dan Van Vollenhoven, dua peneliti Belanda lainnya, mengungkapkan fakta menarik. Gajah Mada, patih ternama Majapahit, ternyata juga pernah menjabat sebagai adhyaksa.
Hal ini menunjukkan peran penting adhyaksa dalam struktur pemerintahan dan penegakan hukum di Majapahit. Dharmadhyaksa, di sisi lain, memegang peran spiritual dalam sistem peradilan. Pejabat Dharmadhyaksa bagaikan penasihat spiritual bagi raja dan para pejabat, memastikan keputusan yang di ambil sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama.
Masa Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang
Di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda, sistem peradilan mengalami transformasi, melahirkan lembaga bernama Openbaar Ministerie. Institusi ini bagaikan komandan yang mengendalikan para Magistraat dan Officier van Justitie, jaksa-jaksa yang bertugas di Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi), dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung).
Semuanya tunduk di bawah perintah Residen atau Asisten Residen. Namun, di balik fasad penegakan hukum, peran jaksa dan Kejaksaan di era Hindia Belanda menyimpan misi terselubung.
Keberadaan mereka tak hanya untuk menegakkan peraturan negara, melakukan penuntutan pidana, dan melaksanakan putusan pengadilan. Lebih dari itu, mereka menjadi alat penguasa kolonial untuk memperpanjang cengkeraman kekuasaannya.
Fungsi terselubung ini terlihat jelas dalam penerapan delik-delik ”hatzaai artikelen” yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Pasal-pasal ini bagaikan pedang bermata dua, di arahkan pada mereka yang berani menentang pemerintahan kolonial dengan label ”penghasut” atau ”pengacau”.
Kejaksaan di era Hindia Belanda tak ubahnya boneka penguasa, di manipulasi untuk membungkam suara-suara kritis dan melestarikan hegemoni kolonial. Penegakan hukum tercoreng, di warnai dengan kepentingan politik dan penindasan.