Dari Boneka Kolonial Hingga Benteng Anti-Korupsi: Transformasi Kejaksaan

kejaksaan
Seorang jaksa pribumi di Hindia Belanda pada tahun 1870-an. (Foto Dipantara)

Era Kemerdekaan

Meskipun di warnai masa kelam penjajahan, peran jaksa dan Kejaksaan tak lantas terhapus begitu saja saat Indonesia merdeka. Fungsi mereka justru di pertahankan dan di adaptasi untuk melayani kepentingan bangsa yang baru lahir.

Lahirnya UUD 1945 menjadi landasan yuridis formal, di perkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Kedua regulasi ini menegaskan bahwa sebelum Republik Indonesia memiliki badan dan peraturan negaranya sendiri, segala badan dan peraturan yang ada, termasuk sistem peradilan dengan jaksa dan Kejaksaan, masih tetap berlaku.

Secara yuridis, keberadaan Kejaksaan telah di akui sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dua hari kemudian, pada 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam rapatnya memutuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur negara, yakni di bawah naungan Departemen Kehakiman.

Baca Juga:  Raih Juara Karnaval 17 Agustus dengan Ide-Ide Kreatif Ini!

Era Reformasi: Menuju Lembaga yang Merdeka dan Berwibawa

Masa Reformasi membawa angin perubahan bagi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam sistem peradilan. Sorotan tajam terhadap kinerja pemerintah dan lembaga penegak hukum, khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi, mendorong di lakukannya reformasi di berbagai bidang.

Salah satu hasil reformasi yang signifikan adalah perubahan Undang-Undang tentang Kejaksaan. UU Nomor 16 Tahun 2004 lahir untuk menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1991, menjadi tonggak penting bagi Kejaksaan dalam mewujudkan independensinya.

Kehadiran UU Kejaksaan yang baru ini di sambut antusias oleh banyak pihak. Hal ini karena UU tersebut di anggap sebagai penegasan eksistensi Kejaksaan sebagai lembaga yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pihak lain.

Baca Juga:  Filosofi di Balik Neng, Ning, Nung, Nang, Gung dalam Alunan Gamelan

Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 secara tegas menyatakan bahwa “Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan, sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), memiliki kedudukan sentral dalam penegakan hukum.

Hanya Kejaksaan yang berwenang menentukan apakah suatu kasus dapat di ajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti sah menurut Hukum Acara Pidana. Selain itu, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar).

Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Baca Juga:  Karang Taruna Festival: Dua Hari Penuh Keceriaan di Winongan, Ayo Datang!

Hal ini di tegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa Kejaksaan melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka.

Artinya, dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya, Kejaksaan terbebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pihak lain. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara objektif dan adil.

Reformasi Kejaksaan menjadi harapan baru bagi terciptanya penegakan hukum yang adil dan berwibawa. Kejaksaan yang merdeka dan profesional di harapkan mampu menjadi benteng terakhir dalam melawan korupsi dan menegakkan supremasi hukum di Indonesia.