DAUN talas, si hijau yang tak hanya lezat tapi juga kaya manfaat, ternyata telah menjadi bagian dari budaya kuliner Nusantara sejak era prasejarah. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa daun talas sudah diolah dan dikonsumsi di Jawa sejak berabad-abad lampau. Bahkan sebelum padi ditanam orang.
Relief Candi Borobudur, yang berasal dari abad ke-8, juga terdapat tanaman talas yang dipahatkan secara utuh. Batang dipahatkan beserta daun yang lebar berbentuk segitiga. Hal ini mengindikasikan bahwa daun talas menjadi bagian dari pola makan masyarakat Jawa pada masa itu.
Selain talas, dalam candi yang sudah berumur ribuan tahun itu juga dijumpai tanaman lain. Seperti Sukun (Artocarpusaltilis), lalu ada tanaman kayu yaitu Nyamplung (Calophylluminophyllum), tanaman berpotensi hias dan obat seperti Keben (Barringtoniaasiatica) dan lain-lain.
Ketua Tim Peneliti Flora Relief Candi Borobudur dari Tim Peneliti Kebun Raya Purwodadi Fauziah menyebut, ada 53 jenis flora Jawa kuno yang teridentifikasi dari 10 relief di candi Borobudur pada tingkat ruphadatu (bagian tubuh Candi Borobudur yang merupakan tingkat kedua dari susunan candi).
Sebagian besar motif flora yang teridentifikasi dan terpahat pada masing-masing relief merupakan jenis tumbuhan yang telah dibudidayakan oleh masyarakat Jawa kuno dan dapat dijumpai di alam bebas.
Di masa kerajaan, daun talas semakin memainkan peran penting, terutama saat musim paceklik atau panen padi gagal. Daun talas yang mudah ditanam dan tahan banting menjadi sumber karbohidrat alternatif yang menyelamatkan rakyat dari kelaparan.
Alternatif Bahan Pangan yang Mengandung Karbihidrat
Talas sendiri merupakan tumbuhan penghasil umbi yang cukup penting. Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara atau Asia Tengah bagian Selatan. Kini talas telah menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk India, Cina, Afrika Barat dan Utara, dan Hindia Barat.
Talas merupakan makanan pokok, selain sukun, di beberapa kepulauan di Oseania. Di Indonesia, talas populer ditanam hampir di semua daerah. Talas terutama ditanam untuk umbinya, yang merupakan sumber karbohidrat yang cukup penting.
Namun umbi ini mengandung getah yang gatal, yang berbeda-beda ketajamannya menurut jenisnya, sehingga harus dimasak terlebih dulu sebelum dapat dikonsumsi.
Memakannya juga tak boleh berlebihan, karena menimbulkan rasa begah dan gangguan pencernaan. Umbi talas dapat diolah dengan cara dikukus, direbus, dipanggang, digoreng, atau diolah menjadi tepung, bubur, dan kue-kue.
Di beberapa daerah di Indonesia di mana padi tidak dapat tumbuh, antara lain di Kepulauan Mentawai dan Papua, talas dimakan sebagai makanan pokok, dengan cara dipanggang, dikukus atau dimasak dalam tabung bambu.
Di Hawaii dan beberapa bagian Kepulauan Polinesia, umbi talas dikukus dan ditumbuk untuk dibuat pasta. Selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan puding. Di Jawa dan juga di tempat-tempat lain di Indonesia, umbi talas dikukus atau digoreng untuk dinikmati sebagai camilan.
Disamping umbi, daun dan tangkai daun yang muda dapat dimanfaatkan sebagai sayuran. Sayur lompong dari Jawa Barat adalah sejenis gulai yang memanfaatkan bagian pucuk dan tangkai daun yang muda, dimasak dengan atau tanpa santan kelapa. Daun-daunnya yang muda terkenal sebagai pembungkus buntil yang disukai.
Hingga saat ini, daun talas masih digemari oleh masyarakat Jawa dan di berbagai daerah di Indonesia. Daun talas diolah menjadi berbagai hidangan lezat, seperti sayur lodeh, pecel, urap, dan rempeyek. Daun talas juga dapat diolah menjadi minuman segar seperti dawet ayu.
Selain kelezatannya, daun talas juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Daun talas kaya akan serat, vitamin A, vitamin C, dan mineral seperti kalium dan magnesium. Kandungan ini bermanfaat untuk:
* Menjaga kesehatan pencernaan
* Meningkatkan daya tahan tubuh
* Menjaga kesehatan jantung
* Mencegah anemia
* Mencegah kanker
Dengan begitu, terbukti bahwa daun talas merupakan salah satu contoh kekayaan kuliner Nusantara yang perlu dilestarikan. Daun talas tidak hanya lezat, tetapi juga kaya manfaat bagi kesehatan.