JAUH dari hiruk pikuk kota besar yang penuh dengan deru motor dan asap pabrik, alunan merdu toleat menggema di sudut Kampung Cinyurup, Desa Juhut, Kecamatan Karangtanjung, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Satoni mengungkapkan harapannya supaya alat musik tiup tradisional yang terbuat dari bambu itu tidak punah di telan peradaban. ”Ketika masih muda, saya biasa memainkan toleat sembari naik kerbau,” kenang lelaki berusia 67 tahun itu.
Toleat bukan sekadar alat musik biasa. Alat musik ini memiliki sejarah panjang dan makna yang mendalam bagi masyarakat Cinyurup. Diyakini sudah ada sejak masa Kerajaan Sunda, toleat diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Alat musik yang terbuat dari bambu tamiang itu menghadirkan melodi lembut dan harmonis. Berbeda dengan suling yang melengking, toleat menghasilkan suara yang menenangkan bagi siapapun yang mendengarkannya.
Bagian ujung toleat ditutup dengan kayu, memberikan ciri khas tersendiri pada alat musik ini. Nada-nadanya yang indah mengalun merdu, membangkitkan rasa damai dan ketenangan bagi para pendengarnya.
”Toleat sudah ada sejak abad ke-18. Itu yang sejak dulu disampaikan leluhur saya,” ujar Mas’un seorang pengrajin dan pemain toleat berusia 44 tahun.
Di masa lampau, toleat sering dimainkan oleh para petani dan penggembala ternak saat mereka beristirahat. Alunan merdunya menggema di antara kebun, dangau, dan permukiman.
Lebih dari sekadar hiburan, toleat juga berperan sebagai pemadu insan. Di Cinyurup, kemahiran meniup toleat bisa memikat lawan jenis. Mas’un menceritakan kisah seorang warga Cinyurup bernama Sarwan yang pandai bermain toleat meski berbibir sumbing. Kehebatannya dalam memainkan alat musik ini membuatnya mampu mempersunting gadis tercantik di Cinyurup.
Menembus Era Modern
Upaya melestarikan toleat tidak hanya dilakukan di kampung. Alat musik ini kini mulai merambah ruang publik modern, seperti mal dan pusat keramaian. Nurdin, pemilik Galeri Bogor Kreatif, berkisah tentang kemerduan paduan suara toleat yang disambut meriah oleh ribuan pengunjung salah satu mal di Kota Bogor pada pertengahan Agustus 2017. Penampilan mereka memukau banyak orang.
Bagi Nurdin, toleat bukan hanya hiburan, tetapi juga media untuk menjaga kebersamaan dan nilai-nilai luhur yang patut dilestarikan di tengah era modern yang penuh dengan individualisme. Alunan merdunya mengingatkan kita akan pentingnya gotong royong, persatuan, dan rasa saling menghormati, nilai-nilai yang kian langka di era modern ini.
Di Subang, Jawa Barat, upaya melestarikan toleat juga menunjukkan geliat yang positif. Wawan Renggo, pendiri Lembaga Adat Keraton Galuh Pakuan, mengungkapkan bahwa perhatian generasi muda terhadap toleat Subang kian meningkat. Hal ini terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan, seperti menghimpun 1.250 orang untuk meniup toleat berbarengan di alun-alun setempat pada 2015.
Toleat memang memiliki sejarah yang unik. Berawal dari mainan anak gembala yang terbuat dari batang padi sisa panen dan pelepah pohon pepaya, toleat kini telah berkembang menjadi alat musik tradisional yang digemari banyak orang.
Meskipun minat terhadap toleat kian meningkat, masih terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestariannya. Salah satu tantangan utama adalah kesulitan memainkan toleat, yang membutuhkan kekuatan tiup yang besar.
Namun, dengan semangat dan komitmen dari berbagai pihak, seperti pemerintah, komunitas seni, dan masyarakat, toleat diyakini dapat terus dilestarikan dan menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia.