MASYARAKAT Jawa memiliki pandangan bahwa bulan Suro merupakan momen yang sakral. Di balik kesakralannya, bulan ini menyimpan cerita yang masih dipegang teguh hingga kini. Salah satunya adalah pantang menggelar hajatan.
Sejak ratusan tahun lalu, hajatan di bulan Suro diyakini dapat membawa malapetaka bagi yang melanggarnya. Konon, rumah tangga akan dilanda pertengkaran dan kesusahan. Meski tak dijelaskan alasan yang melatari tradisi ini, sebagian besar masyarakat Jawa memilih menghindari hajatan di bulan Suro.
Dosen Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Dr Sunu Wasono memberikan pandangan rasional dibalik larangan tersebut. Ia menyebut, umumnya masyarakat Jawa menghindari bulan Suro untuk menyelenggarakan pesta pernikahan sebab bulan itu dipercaya sebagai bulan penuh keprihatinan. Jadi masyarakat Jawa cenderung menghindari berpesta.
“Bulan Suro itu bulan prihatin. Tidak tepat melakukan kegiatan pesta di bulan seperti itu karena diyakini akan berakibat tidak baik jika ketentuan itu dilanggar,” jelasnya dilansir dari Kompas.
Karena dianggap sebagai bulan prihatin, masyarakat secara turun temurun diimbau untuk lebih introspeksi diri dan merenungkan makna hidup. Pesta pernikahan yang identik dengan kegembiraan, dirasa kurang tepat dihelat di bulan penuh makna ini.
Sementara Prof. Bani Sudardi, Pengamat Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, angkat bicara mengenai mitos ini. Menurutnya, anggapan bahwa seluruh bulan Suro celaka untuk menikah adalah salah kaprah yang terus berkembang di tengah masyarakat.
Respon (1)
Komentar ditutup.