SEDEKAH bumi menjadi kebiasaan yang berlangsung lama di tengah masyarakat. Menjadi wujud rasa syukur atas limpahan hasil panen yang mereka peroleh. Seserahan ini mulanya merupakan bentuk penghormatan kepada Dewi Sri, sang Dewi kesuburan.
Tradisi ini akhirnya lebih populer dengan sebutan Ancakan, berupa ubo rampen yang merupakan hasil panen penduduk. Tradisi ini masih lestari di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, Ancakan sudah tercatat dalam Warisan Budaya Takbenda Indonesia sejak 2013.
Biasanya, ancak disusun menyerupai gunungan. Tentu saja, membuat ancak bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan kerjasama, kegotongroyongan, dan ketelatenan seluruh warga desa.
Beragam hasil bumi, seperti padi, jagung, kacang-kacangan, dan buah-buahan, dihimpun dan ditata dengan cermat di atas ancak. Setiap elemen dalam ancak memiliki makna simbolis.
Bentuk kerucut ancak melambangkan gunung sebagai sumber kehidupan, hiasan janur melambangkan kesucian dan kemakmuran, dan berbagai hasil bumi melambangkan limpahan rezeki dari Dewi Sri.
Di puncak acara, ancak akan diarak keliling desa, diiringi dengan alunan musik tradisional dan doa-doa. Masyarakat kemudian akan berebut hasil bumi dari ancak, dengan harapan mendapatkan berkah dan kelimpahan rezeki.
Pemandangan itu terlihat di Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur pada Sabtu (13/4/2024). Ratusan warga desa tumpah ruah ke jalan desa berebut ancak.
Sebanyak 20 ancak hasil bumi dipersembahkan mewakili 20 Rukun Warga (RW) di desa lereng Gunung Arjuno itu. Sebelum direbut oleh para warga, puluhan ancak diberangkatkan dari RW masing-masing menuju Balai Desa. Suasana semakin meriah saat ancak diarak menuju garis finis di jalan desa sepanjang 50 meter. Tepat di sanalah para warga berebut dengan penuh semangat, tak lupa diiringi dengan gelak tawa dan sorak sorai.
”Ini saya dapat sayur. Seru sekali! Saya sudah menunggu dari pagi,” ungkap Kartini, salah satu warga yang ikut berebut ancak.
Bagi Dardiri, Kepala Desa Jatiarjo, tradisi berebut ancak bukan hanya tentang mendapatkan hasil bumi. Acara ini memiliki makna yang lebih dalam, yaitu memperkuat rasa kebersamaan dan melestarikan adat istiadat desa.
”Inilah momen di mana kita bersatu, saling berbagi, dan menghidupkan kembali tradisi leluhur,” tutur Dardiri.
Tradisi ini tak hanya sarat makna kebersamaan, tetapi juga menjadi wujud rasa syukur atas limpahan panen yang diperoleh dari alam. Dardiri menekankan bahwa ancak merupakan bentuk kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestarikan.
”Ini adalah cara kita untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas karunia alam yang melimpah,” jelas Dardjri. ”Dan ini juga merupakan pengingat bagi kita untuk selalu hidup berdampingan dengan alam,” katanya.